LangsungKlik.id – Pada 23 Juli 2001, Indonesia menyaksikan salah satu momen politik paling dramatis dalam sejarah reformasi. Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, resmi dimakzulkan setelah mengeluarkan Dekrit Presiden yang membekukan DPR/MPR, menunda Partai Golkar, serta menyerukan pemilu dalam waktu satu tahun. Keputusan itu memicu penolakan keras dari parlemen yang segera menggelar Sidang Istimewa dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya.
Di luar aspek politik, peristiwa tersebut dikenang publik karena cara Gus Dur meninggalkan Istana. Tidak dengan jas resmi atau pakaian kebesaran presiden, melainkan hanya dengan kaos oblong abu-abu polos dan celana pendek. Sikap sederhana itu memberi pesan moral: kekuasaan bukanlah segalanya, dan demi mencegah benturan antara pendukung dengan aparat, ia rela melepaskan jabatan.
Putri Gus Dur, Alissa Wahid, menuturkan bahwa ayahnya mengambil langkah mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral agar bangsa tidak terjebak dalam konflik horizontal. Gus Dur juga sempat berpesan kepada para pendukungnya agar tidak bertindak anarkis. Bagi banyak kalangan, momen itu menjadi simbol keikhlasan seorang pemimpin yang lebih mementingkan keselamatan rakyat daripada mempertahankan tahta.
Indonesia 2025: Krisis Demokrasi dan Gelombang Protes
Dua dekade lebih berlalu, Indonesia kini kembali menghadapi tantangan besar dalam menjaga nilai-nilai demokrasi. Sejak Agustus 2025, gelombang protes nasional mengguncang berbagai kota besar. Aksi yang dipicu isu tunjangan mewah anggota DPR berujung pada bentrokan, kerusuhan, hingga menelan korban jiwa, termasuk seorang pengemudi ojek online.
Pemerintah kemudian menghapus fasilitas perjalanan luar negeri dan sejumlah tunjangan wakil rakyat. Namun langkah itu belum cukup meredam keresahan publik. Masyarakat menilai akar masalah terletak pada ketidakadilan struktural, korupsi yang merajalela, serta lemahnya kepercayaan terhadap institusi politik.
Di sisi lain, dinamika politik nasional saat ini juga menghadirkan tantangan baru. Sejumlah kebijakan pemerintah dalam pengelolaan keamanan dan pembangunan memunculkan perdebatan di ruang publik. Sebagian kalangan menilai langkah-langkah tersebut bisa berdampak pada keseimbangan demokrasi dan peran masyarakat sipil, sementara pemerintah beralasan kebijakan itu ditujukan untuk menjaga stabilitas serta memperkuat kinerja negara.
Jejak Reformasi dan Refleksi Hari Ini
Momen Gus Dur keluar dari Istana dengan kaos oblong dan celana pendek bukan sekadar cerita ringan, melainkan simbol keberanian untuk mengutamakan rakyat di atas kepentingan politik. Sikap itu kontras dengan kondisi politik saat ini, ketika kekuasaan sering dipertahankan meski menimbulkan gesekan sosial.
Demokrasi Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius: polarisasi masyarakat, ketidakpuasan terhadap kebijakan publik, hingga skandal korupsi besar seperti kasus Pertamina yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Semua itu memperlihatkan rapuhnya institusi dan lemahnya pengawasan publik.
Pelajaran dari Gus Dur penting diingat: demokrasi tidak hanya soal prosedur, tetapi juga etika dan keikhlasan pemimpin. Ketika konflik berpotensi memecah belah bangsa, keputusan berani untuk mengalah demi rakyat bisa menjadi jalan terbaik. Peristiwa 23 Juli 2001 memperlihatkan bagaimana Gus Dur meninggalkan kursi kepresidenan dengan kesederhanaan dan ketulusan. Kini, di tengah gejolak sosial dan krisis kepercayaan terhadap elite politik, nilai-nilai itu kembali relevan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani menempatkan rakyat di atas kepentingan kekuasaan, sebagaimana teladan Gus Dur dua dekade lalu. (*)